Sejak diturunkan, risalah Islam telah menyelamatkan perempuan dari rusaknya peradaban manusia yang tidak menghargai kaum hawa. Membunuh anak perempuan karena rasa malu, menjadikan wanita barang warisan, memperlakukan wanita hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki dan sasaran pelampiasan kekerasan adalah hal yang ada hampir diseluruh dunia sebelum datang Islam.
Islam datang mengangkat permpuan dari derajat yang demikian menjadi kaum yang sangat mulia, dengan beberapa keistimewaan. Memang Islam tidak mengekang perempuan. Islam memperbolehkan perempuan bebas berkiprah di ranah publik. Karena itu Islam mendorong perempuan untuk selalu mencari bekal untuk kemajuan dirinya tanpa mengesampingkan tabiat perempuannya. Misalnya: perempuan diwajibkan menuntut ilmu sama halnya dengan laki-laki, juga mereka diperbolehkan mengaplikasikan ilmunya di berbagai lapangan kehidupan selama tidak membahayakan harkat dan martabatnya.
Akan tetapi, pasca runtuhnya khilafah Islamiyah di Turki, umat Islam termasuk kaum muslimah mengalami kemunduran luar biasa diberbagai lapangan kehidupan. Perempuan mulai terambil kemulyaannya, mereka sedang dan telah teracuni dengan sistem yang sedang menguasai mereka, sistem sekular, yaitu upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan disegala bidang. Gagasan ini menghendaki agar perempuan diberi hak-hak yang setara dengan laki-laki (gender equality). Perempuan harus dibebaskan dari diskriminasi, dari beban-beban yang menghambat kemandirian, sekalipun dengan cara mereduksi nilai-nilai budaya dan agama, beban itu antara lain sebagai ibu, hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga.
Gagasan tersebut masuk ke dunia Islam, negeri Mesir, pada awal abad ke-20. Gagasan ini telah memberikan perubahan yang sangat tampak pada busana perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan mulai terlihat dijalan-jalan, mereka tidak lagi tinggal di dalam rumah, mereka aktif di ranah publik.
Agaknya para aktivis perempuan Indonesia juga mengalami hal yang sama, dengan menobatkan R.A Kartini sebagai pejuang emansipasi. Mereka mengambarkannya sebagai sosok yang bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hal yang sama dan sejajar dengan laki-laki. Benarkah apa yang mereka perjuangkan sejalan dengan perjuangan R.A Kartini?
Film wanita berkalung surban menjadi salah satu dari representasi kesalahan memahami perjuangan R.A. Kartini, perjuangan Muslimah di era kejaan Islam serta teks-teks ajaran Agama. Kita bisa menyaksikan perempuan disekitar kita, banyak dari mereka yang menuntut bahkan memperjuangkan kebebasan untuk perempuan.
Kontes ratu tercantik dunia, salah satu dari bentuk kekebasan berekspresi yang mereka tuntut. Perempuan dengan hanya memakai pakaian bikini, adalah salah satu dari unsur seni yang menawan, yang merupakan bagian dari industri kapitalisme, Miss Universe dipilih untuk menjadi ujung tombak promosi produk. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kebebasan yang mereka perjuangkan atas nama kesetaran.
Langkah pemberdayaan perempuan ini oleh aktifis gender ditekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum perempuan di bidang ekonomi, perempuan didorong untuk mandiri dalam finansialnya. Ketika perempuan telah mandiri, ia tidak lagi tergantung pada laki-laki, peran domestic keluarga tidak lagi dipihak perempuan, harus ada pembagian kerja. Peran keibuan tidak lagi menjadi tanggungjawab perempuan. Yang akhirnya tidak ada satupun baik laki-laki atau perempuan mengambil peran utama dalam rumah tangga, karena keduanya berperan aktif diranah publik.
Bagaiman dengan anak-anak? Bila ibu dan ayah tersita waktunya di sektor publik. Finansial akan menyelesaikannya dengan menggaji pembantu, Negarapun dapat mengambil alih dengan penyelenggaraan day care centre sebagaimana yang diterapkan di Negara-negara skandinavia.
Pada titik ini, kehancuran institusi keluarga muslim akan semakin jelas. Peran kepemimpinan (qowamah) yang dibebankan pada laki-laki akan melemah, karena para perempuanpun menuntut kepemimpinan tersebut, apalagi bila gaji istri lebih tinggi dari suami. Peran keibuan (ummah) dan pengelola rumah tangga (robbatul bait) akan terabaikan. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkwalitas.
Dalam makalah ini kami menjelaskan perjuangan gender dan feminisme, dari awal mulanya sampai pada masa kita sekarang, gejala-gelaja yang Nampak dalam masyarakat akibat dari tidak adanya keadilan dan kesetaraan gender, dan bagaimana Islam menempatkan perempuan baik dalam sektor domestik dan public, sehingga Nampak bagi kita apakah benar Islam mendiskriminasi perempuan, mengekang perempuan, tidak memberikan hak-haknya seperti yang mereka tuduhkan pada Islam. Juga di penutup makalah ini ditawarkan solusi pemberdayaan perempuan, dengan harapan perempuan terutama muslimah bisa lebih berhati-hati menerima tawaran-tawaran pemberdayaan dan kesejahteraan perempuan yang diberikan dari konsep kesetaraan gender yang justru berbalik menjadi eksploitasi dirinya dan waktu bersama anak-anak dan keluarga tersita untuk memenuhi ajakan yang bersifat fatamorgana.
B. SEKILAS TENTANG GENDER
1. ARTI GENDER
Kata gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris gender yang berarti jenis kelamin. Mansoour Fakih dalam makalahnya ia menuliskan bahwa gender and society adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (seks) adalah kodrat tuhan, karenanya secara permanen berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan tuhan, melainkan diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu kewaktu, dari tempat ke tempat yang lain, serta dari kelas ke kelas yang lain.
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu, pada masa dan waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan.
Menurut Zaitunah Subhan: ada dua perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pertama perbedaan kodrati, perbedaan ini bersifat mutlak dan mengacu pada hal-hal yang bersifat biologis. Perempuan memilliki rahim, payudara, ovarium, haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Pria memiliki penis, dilengkapi dengan scortum dan sperma untuk pembuahan. Kedua: perbedaan non kodrati yaitu perbedaan yang dihasilkan oleh interpretasi social atau sering disebut dengan social contruction. Perbedaan bersifat non kodrati, tidak kekal, sangat mungkin berubah dan berbeda-beda berdasarkan ruang dan waktu. Perbedaan ini tidak berlaku umum, perannya bisa diubah, ditukarkan atau menjadi nurture.
Pemakaian gender dalam wacana feminis pertama kali dicetuskan oleh Anne Oakley.Perbedaan antara seks dan gender berkaitan erat dengan ciri-ciri biologis dan fisik tertentu, termasuk kromoson dan genetika. Sementara identitas gender lebih banyak dibentuk oleh persepsi sosial dan budaya tentang stereotip perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat.
Predikat laki-laki dan perempuan di masyarakat sekarang dianggap sebagai sebuah simbol. Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karakteristik “kejantaan” (masculinity), sedangkan perempuan diidentifikasikan sebagai orang yang memiliki karakteristik “kewanitaan” (feminity). Perempuan dipersepsikan sebagai manusia yang cantik, langsing dan lembut, sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, Anggapan seperti ini dengan sendirinya akan memberikan peran lebih luas kepada laki-laki dan pada saatnya laki-laki memperoleh status sosial yang lebih tinggi dari perempuan.
Dalam masyarakat seperti ini laki-laki diposisikan sebagai makhluk yang berkuasa atau superior terhadap perempuan diberbagai sektor kehidupan baik itu domestik maupun publik. Gender yang semula merupakan interaksi social yang setara antara laki-laki dan perempuan bergeser menjadi hegemoni laki-laki terhadap perempuan.
Sedang istilah feminisme lebih bersifat subjektif. Sehingga penggunaannya sering menimbulkan kebingungan dan memicu munculnya berbagai definisi dari kata feminism. Sebenarnya setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan dan diskriminatif yang di alami perempuan karena jenis kelaminnya dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai feminis. Gerakan feminis ini muncul sebagai akibat dari kesadaran perempuan terhadap hegemoni laki-laki terhadap mereka. Perjuangan ini bertujuan untuk mengambil hak-hak kemanusiaan mereka untuk menemukan kesetaran gender.
Gerakan Women’s liberation di Amerika merupakan momentum penting dalam sejarah gerakan feminism. Usaha-usaha terorganisasi untuk meningkatkan status kesetaraan gender pertama kali muncul di Amerika Serikat. Tahun 1800 gerakan ini mulai berkembang diberbagai Negara, peran perempuan dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan berangsur-angsur meningkat. Dengan semakin maraknya gerakan feminism di Barat sejak akhir 1960-an semakin banyak pula perempuan yang mendapat kesempatan berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan seperti laki-laki. Namun dibalik kemajuan perempuan dalam partisipasinya di dunia maskulin, banyak yang mengkritik bahwa kondisi perempuan bukan menjadi lebih baik, tetapi menjadi memburuk.
Kondisi perempuan yang semakin memburuk itu membuat kaum perempuan mempertanyakan kembali kebebasan yang dulu pernah mereka miliki. Pejuang feminism mulai mengkaji kembali ide dan gagasan yang pernah mereka perjuangkan. Hingga pada akhir tahun 1960-an dan sepanjang tahun 1970-an konsep gender mulai diperjuangkan dalam tataran strategis. Upaya menanamkan nilai-nilai gender di mulai melalui konferensi-konferensi dan konggres-konggres yang diikuti oleh perwakilan kaum perempuan dari berbagai Negara. Dari konferensi dan konggres tersebut lahirlah ide dan gagasan baru untuk menyelamatkan perempuan dari ketidakadilan, agar perempuan mendapatkan kembali hak-haknya, mendorong perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender dan untuk memberdayakan kaum perempuan.
Pada 1952 digulirkan mengenai kovensi hak politik perempuan. Di Kopenhagen 1980 diadakan konferensi dunia UN Mid decade of women yang mengesahkan konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pada 1985 diadakan world Conference on Result on Ten Years Woment Movement di Nairobi yang menghasilkan The Nairobi Looking Forward Strategi for the Advecement of Woman. Di Vienna 1990 diadakan 34 th Comission on the status of women. Tahun 1994 di adakan konferensi Beijing plat form and action (BPFA). Pada tahun 1995 inilah mulai dikenalkan wawasan gender and development (GDA) dengan penekanan pada kesadaran tentang kesetaraan gender (gender equality) dalam menentukan pembangunan. Ada 12 bidang yang dianggap kritis dalam BPFA yaitu: perempuan dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dan konflik bersenjata, perempuan dan ekonomi, perempuan dalam pengambilan kekuasaan, mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, hak asasi perempuan, perempuan dan media, perempuan dan lingkungan serta anak perempuan
2. LANDASAN TEORI KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Sejak tahun 1990, UNDP (United Nations Development Report) melalui laporan berkalanya “ Human Development Report (HDR) menetapkan indikator baru dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu Negara, yang sebelumnya hanya diukur dengan GDP (Growth Domestic Product). Indikator baru tersebut dikenal dengan Human Development Indexs (HDI) yang meliputi tiga aspek yaitu: usia harapan hidup (life expectancy), angka kematian bayi (infant moertality Rate), dan kecukupan pangan (food security). Pada tahun 1995, UNDP menambah konsep HDI dengan konsep kesetaraan gender (gender equality) dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan suatu Negara.
Perhitungan yang dipakai adalah Gender Development Index (GDI) yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan dan jumlah pendapatan, serta Gender Empowerment Measure (GEM) yang mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan dalam sector lainnya. Ukuran ini bertitik tolak pada konsep kesetaraan sama rata. Misalnya, apabila rata-rata laki-laki dan perempuan sama-sama berpenghasilan dua juta rupiah setahun, menerima pendidikan sama-sama sepuluh tahun atau proporsi yang aktif dalam politik sama-sama 20 %, maka angka GDI dan GEM adalah 1, atau telah terjadi perfect equality. Konsep kesetaraan kuantitatif (50/50) inilah yang diidealkan oleh UNDP, sehingga lembaga ini mengharapkan seluruh Negara di dunia dapat mencapai kesetaraan yang demikian
Menurut Ratna Megawangi, dalam bukunya membiarkan berbeda, landasan teori yang tepat untuk menempatkan kesetaraan gender 50/50 terdapat dalam paradigma sosial konflik. Paradigma ini dipelopori oleh Karl Marx dan friedrich Engels. Engles menganalogikan hubungan suami istri dalam keluarga sebagai hubungan kelas kapitalis dan proletar. Collins (1975) yang menerapkan teori dalam keluarga dan masyarakat dalam pola relasi sosial. Marx-Engels menganalisa kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kaum laki-laki diibaratkan sebagai kaum borjuis dan perempuan sebagai kaum proletar yang tertindas baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual dan pembagian property dalam keluarga. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keluarga menjadi institusi untuk melanggengkan sistem patriarkat, dimana kedudukan suami istri dan anak-anak tetap pada posisi vertikal dan dianggap sebagai struktur ideal.
Sistem patriarkat ini ditolak oleh para feminis dan mereka berusaha mewujudkan sistem yang lebih egaliter. Dalam pandangan mereka sistem patriarkat ini dapat diruntuhkan dengan transformasi social yaitu perobakan sistem social yang ada, yaitu wanita perlu masuk ke dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki, untuk itu wanita perlu mengadopsi kualitas maskulin agar mampu bersaing dengan laki-laki.
3. PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAKADILAN
3. PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAKADILAN
Dalam uraian diatas dapat difahami adanya pergeseran relasi gender yang menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan gender tersebut telah termanifestasi dalam berbagai bentuk, diantaranya[25]:
a. Terjadinya Marginalisasi (peminggiran).
Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
b. Terjadinya Subordinasi (penomorduaan)
Anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih utama di banding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dulu ada sebuah pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran agama maupun birokrasi yang meletakkan perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai yang membatasi ruang gerak perempuan dalam kehidupan.
c. Adanya pandangan Stereotype.
Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan). Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
d. Berbagai bentuk tindak kekerasan (violence) terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan gender.
Banyak sekali terjadi kekerasan yang dialami perempuan, mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, juga kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual (sexual Harassment) dan penciptaan ketergantungan.
e. Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh Perempuan.
Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semua manifestasi ketidakadilan tersebut saling terkait dan mempengaruhi, dan ini tersosialisasi kepada laki-laki dan perempuan yang lambat laun akhirnya laki-laki dan perempuan terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran gender itu seolah-olah menjadi kodrat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar