Selasa, 27 Januari 2015

Konflik Antar Agama

Akhir-akhir ini banyak sekali permasalahan yang dihadapi bangsa, mulai dari konflik sosial, politik, ekonomi dan seringkali bergeser menjadi konflik agama. Konflik-konflik tersebut merupakan potensi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Lalu bagaimana kaitanya dengan wawasan kebangsaan. Misalnya, hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta beberapa tahun lalu,menyebutkan, masyarakat Indonesia bisa dikatakan kurang toleran. Sebagaian besar masyarakat Indonesia bisa dikatakan kurang toleran terbukti 67% masyarakat menyatakan kebencian karenanya kurang bersedia hidup berdampingan dengan kelompok sosial-politik dan keagamaan lainya. Begitu pula, 29 % menyatakan selalu percaya pada orang lain, sedangkan mayoritas menyatakan, setiap orang harus berhati-hati terhadap orang lain, jangan mudah percaya (86%). Adapun ciri-ciri dari kemajemukan masyarakat Indonesia adalah : (1) Indonesia adalah negara dengan populasi Islam terbesar di dunia. (2) Indonesia mengakui 6 agama. (3) Indonesia mempunyai ratusan suku. (4) Indonesia bukan hanya Pulau Jawa, Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia.
Kerukunan dibagi dalam 2 istilah. Pertama, demografis dan fakta sosiologis. Pengertianya adalah kenyataan sosial adanya kelompok yang tinggal menetap bersama disebuah negara. Kedua,ideologi dan konsep normatif tentang cara hidup (way of life). Dimana sebuah tatanan sosial ideal berupa lambang dari prinsip keadilan sosial yang mengemukakan tentang hak-hak, nilai, dan kesetaraan kelompok. Sedangkan pengertian kerukunan itu sendiri adalah keadaan dimana hubungan sesama umat beragamayang diandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang (UUD) tahun 1945. Filosifi kerukunan antar umat meliputi; rasa tanggung jawab pada semua orang, respec (sikap hormat) pada setiap orang, bersikap adil pada siapapun dan memberi manfaat bagi orang lain. Sedangkan tujuan kerukunan itu sendiri meliputi berbagai hal diantaranya; sebagai perekat sosial (social cohesion), Identitas kultural (cultural identity), persamaan kesempatan dan akses, rasa tanggung jawab, komitmen dan partisipasi dalam berbangsa dan bernegara. Masalah-masalah kerukunan antar umat beragama di Indonesia yaitu, belum adanya hubungan antara pemerintah nasional dengan komunitas etnik, konflik etnik bermuara pada konflik etnik lokal dengan etnik pendatang. Juga adanya persaingan sumber-sumber ekonomi, kekuasaan (politik), sosial budaya. Dan akhirnya persoalan ekonomi bergeser menjadi konflik agama.
Revitalisasi Semangat Pancasila Sekarang ini, Tunggal Ika lebih dipentingkan dari pada bhineka, artinya persamaan lebih sering dibahas daripada perbedaan-perbedaan. Hal itu justru akan memunculkan persatuan semu (pseudo-unity). Sehingga perlu penataan ulang pengelolaan keragaman budaya (managin cultural diversity) untuk mencegah disintegrasi. Paham kerukunan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan sunah. Bahkan semua unsur melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Al-Quran, sehingga seorang muslim yang baik pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota suatu bangsa terdiri dari beragam agama atau anggota masyarakat terdiri dari berbagai bangsa hendaknya mereka dapat menghayati firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang ditujunya), dia mengadap kearah itu. Maka berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.  
Nasroen (1968, dalam Harafah 2008 : 69) mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan pada agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan pada agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan atas akal pikiran saja, maka filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran obyektif, karena yang memberikan penerangan dan putusan adalah akal pikiran.
Kesanggupan akal pikiran terbatas sehingga filsafat yang hanya berdasarkan atas akal pikiran semata-mata akan tidak sanggup member kepuasan bagi manusia, terutama dalam rangka pemahamannya terhadap yang gaib. (Harafah, 2008 : 69)
Indonesia yang bersifat majemuk, baik dari segi agama, etnis, bahasa, budaya, maupun adat istiadat membutuhkan perekat yang kuat agar tidak terancam disintegrasi. Kekuatan perekat itu diletakan atas dasar kerukunan umat beragama sehingga toleransi antar umat beragama menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.1   Toleransi Sebagai Akidah Dalam Beragama
            Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan, Allah, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka(rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: Pertama, menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati; Kedua, menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki. Ketiga, mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama-agama yang ada di dunia ini, telah memiliki strategi, metode dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang sudah barang tentu dan sangat boleh jadi terdapat berbagai perbedaan antara satu dengan lainnya. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya, sang Pencipta agama telah berpesan dengan sangat, “Kiranya umat manusia tidak terjebak dalam perpecahan tatkala menjalankan agama masing-masing, apalagi perpecahan itu justru bermotivasikan keagamaan”
Pengamalan toleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu dihabitualisasikan dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitan ini Tuhan telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, dalam Q.S. 42 A. 13: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh, dan apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah diwahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam urusan agama.” Pesan lainnya terkandung dalam Q.S. 3 A. 103: “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan agama-agama untuk umat manusia, kehendak-Nya hanyalah jangan berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.
Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah dalam beragama, merupakan standar normatif Ilahiyah, sebagai patokan baku untuk pembimbingan perilaku umat manusia dalam beragama. Standar yang bersifat universalistik ini bermakna ruang lingkupnya berlaku di mana pun dan kapan pun. Yakni umat beragama dalam berinteraksi antar agama wajib mengutamakan standar universal ini. Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.
Tindakan manusia beragama itu selalu memiliki orientasi, berarti selalu diarahkan kepada tujuan. Ada dua elemen penting dalam orientasi tindakan manusia termasuk tindakan manusia dalam beragama yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional adalah yang berhubungan dengan keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, atau dalam makna lain, motivasi untuk memperbesar kepuasan jangka panjang dan jangka pendek.
Sedangkan elemen lainnya adalah orientasi nilai. Orientasi ini menunjuk kepada standar-standar normatif yang mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.  Walhasil, kebebasan individu dalam bertindak, dibatasi oleh standar-standar normatif yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat Ilahiyah maupun budaya. Segala norma-norma itu bukan berarti mengeliminir kebebasan manusia dalam beragama, justru menawarkan berbagai alternatif dalam bertindak, bermakna juga bahwa manusia itu dalam beragama mempunyai kebebasan penuh yang dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang selainnya.
Umat beragama dalam interaksi sosialnya mempunyai kebebasan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeluknya. Interaksi seperti ini sudah barang pasti berkonsekuensi, minimal saling singgung. Sebab strategi, metoda dan teknik interaksi masing-masing agama dan para pemeluknya bahkan dalam kalangan suatu agama dan para pemeluknya, sangat mungkin terjadi perbedaan baik secara prinsip maupun nonprinsip. Ini bermakna, dapat kita lihat bahwa individu-individu itu dalam beragama memungkinkan dapat menggunakan agama sebagai kekuatan yang mempersatukan dan sebaliknya juga dapat menggunakannya sebagai pencerai-beraian, yang mengakibatkan timbulnya konflik.

1.2  Toleransi Sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan, yang merupakan keyakinan pokok (akidah) dalam beragama, dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu. Dan nilai (toleransi) akan sangat mempengaruhi kebudayaan dan masyarakat. Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
 Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Maknanya, ialah proses memelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial.
 Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga (anak-anak). Dan inilah yang menjadi sosialisasi dasar dalam kehidupan umat manusia, yang dari padanya dikembangkan sosialisasi lebih lanjut sebagai follow-up.
Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup (beragama) yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya.
Dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Prinsip yang telah dibela oleh Rasulullah sangat jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berbeda (penentangnya) juga dijelaskan dengan tegas. Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat tinggi: Kamu pada prinsipmu dan aku pada prinsipku. Yakni sepakat untuk berbeda. Sikap tegas penuh toleran, tanpa meninggalkan prinsip seperti itu dilaksanakan pada saat masyarakat lingkungannya tampil dengan budaya represif, yang sistem sosialnya dalam proses tidak menghendaki perubahan, bertahan dengan struktur yang ada(morfostatis). Sedangkan Nabi Muhammad saw sedang memulai pembentukan kelompok (formation group) menuju perubahan. Ternyata sikap toleran sangat menentukan proses terjadinya bentuk serta perubahan atau perkembangan suatu sistem maupun struktural atau penyederhanaannya (morfogenesis).
Sikap toleran membuahkan kemampuan yang sangat signifikan dalam menetapkan pilihan yang terbaik. Mampu mendengar berbagai ungkapan dan menyaring yang terbaik daripada semua itu. Sikap toleran juga melahirkan kemampuan mengubah perilaku individu (self correction) terhadap pola yang selama itu dilakukan, yang tak berdaya mengubah masyarakat tradisional, tertutup dan represif, sehingga tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai. Toleran, tidak menciptakan individu yang wangkeng, yang tidak mau mengubah perilakunya, walau tujuannya tidak tercapai. Secara apologi bersikap dan mengatakan bahwa: Tujuan itu tidak tercapai karena belum waktunya, atau nasibnya memang demikian dan tidak mau mengubah diri.
Sikap toleran, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan sikap toleran, Rasulullah bermigrasi (hijrah) meninggalkan kehidupan dan tatanan sosial tradisional represif yang belum mampu diubahnya menuju kepada tempat dan kelompok masyarakat yang telah dipersiapkannya untuk dapat menerima perubahan dan bahkan menjadikannya sebagai agen perubahan di zamannya serta zaman selanjutnya. Bersama kelompoknya kemudian berinteraksi membaur ke dalam berbagai kelompok dalam masyarakat yang majemuk baik ras maupun agama. Interaksi yang sedemikian itu mampu menciptakan kehidupan yang saling membutuhkan dan saling memerlukan, dalam bentuknya yang saling bertanggung jawab dalam membela masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar